Duh, Teganya Koruptor Manfaatkan Keluarga Untuk Cuci Uang
“Mereka sengaja menggunakan rekening keuangan keluarga, bukan rekening pribadinya. Bahkan yang menyedihkan, para koruptor itu tega memanfaatkan rekening anak-anak yang masih balita (di bawah lima tahun),”
Kasusku.com, JAKARTA—Bagi koruptor, bayi tak berdosa pun layak dipakai untuk menutupi jejak korupsinya. Maka perlu menggabungkan peraturan hukum tentang tindak pidana korupsi dan tindak pidana pencucian uang untuk memperberat hukuman bagi koruptor.Percaya atau tidak, sejumlah terdakwa dan terpidana kasus korupsi tega menggunakan anak-anak mereka yang masih bayi untuk menutupi jejak korupsinya. Nama dan identitas bocah-bocah tak berdosa itu dipakai untuk membuka rekening bank, membeli polis asuransi sampai membeli properti bernilai tinggi sebagai penampung uang hasil korupsi Bapak atau Ibu-nya. Padahal mereka tidak pernah terlibat dalam kejahatan tingkat tinggi tersebut.
Secara naluriah, setiap pelaku korupsi akan berusaha untuk menyembunyikan uang negara atau perusahaan yang diselewengkan oleh mereka. Kalaupun bentuknya berupa barang, asal-usul kendaraan, rumah, perhiasan atau benda berharga lainnya akan ditutupi serapi mungkin.
Bila hasil korupsi itu berupa fasilitas, seperti kartu keanggotaan klub golf mewah atau tiket pertunjukan yang mahal, nama yang dicantumkan di dalamnya mungkin dipalsukan.Namun, karena mayoritas koruptor di Indonesia masih mengincar uang tunai sebagai hasil korupsinya, maka upaya menyembunyikan fisik uang maupun asal-usulnya menjadi cara untuk mengamankan harta haram tersebut.
Taktik yang paling populer adalah memasang identitas orang lain sebagai pemilik rekening bank, deposito dan simpanan uang lainnya dari hasil korupsi tersebut. Tentu saja, orang itu harus bisa dipercaya dan bisa diatur untuk menjalankan perannya, tanpa berpeluang mengkhianati si koruptor dengan mencuri uangnya.Kondisi ini menjadi perhatian serius dari Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) di Kementerian Keuangan yang brtugas mengawasi seluruh transaksi keuangan yang mencurigakan asal-usulnya maupun tata caranya.
Dari riset terhadap perilaku para tersangka dan terpidana korupsi, terdapat pola tindakan yang serupa. Mereka sering menggunakan nama para anggota keluarga dekat, termasuk istri, anak, saudara kandung, orangtua sampai sepupu dan keponakan untuk menjadi pelindung harta hasil korupsi.
Wakil Kepala Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) tahun 2011, Agus Santoso pernah mengatakan bahwa para koruptor sengaja menggunakan rekening keuangan keluarga.
“Mereka sengaja menggunakan rekening keuangan keluarga, bukan rekening pribadinya. Bahkan yang menyedihkan, para koruptor itu tega memanfaatkan rekening anak-anak yang masih balita (di bawah lima tahun),” . Akibatnya, ketika kasus korupsi yang melibatkan orang tua mereka terungkap, identitas dan peran anak-anak itu pun masuk daftar hitam penegak hukum.
“Kasihan anak-anak itu, nama mereka sudah masuk dalam daftar pelaku pencucian uang hasil korupsi di PPATK dan Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (KPK), meskipun mereka mungkin tidak tahu apa-apa,” lanjut Agus Santoso.
Dosa kerabat dekat itu makin besar bila mereka juga sadar bahwa uang tersebut memang berasal dari praktek korupsi, sebab mereka tahu jumlah uang dalam rekening itu tidak mungkin berasal dari gaji dan tunjangan dinas si pelaku.
Resiko yang harus ditanggung anak-anak yang memiliki rekening bank itu adalah hilangnya peluang untuk dapat bekerja sebagai pegawai negeri sipil dan badan usaha milik negara (BUMN) atau badan usaha milik daerah (BUMD. Soalnya, identitas para pejabat pemerintah pusat dan daerah itu dicatat dan diawasi oleh PPATK, sehingga nama anak-anak koruptor yang mantan pejabat itu bisa dicoret karena dianggap sulit dipercaya tidak akan menyeleweng lagi.
Rahadiansyah, pegiat sosial dan praktis hukum, menilai penggabungan proses penyidikan kasus Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) dengan Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) oleh penegak hukum sudah tepat. Soalnya, pasal 75 Undang-undang TPPU menyebutkan, bila penyidik menemukan bukti permulaan yang cukup soal terjadinya TPPU dan tindak pidana asal, penyidik bisa menggabungkan penyidikan Tipikor dengan penyidikan TPPU.
Rahadiansyah mengungkapkan keuntungan bagi proses penegakan hukum anti korupsi bila Pengadilan Tipikor menggunakan delik TPPU pula dalam dakwaannya.
“Sebagaimana diatur dalam Pasal 77 dan 78 UU TPPU, terdakwa dan pihak-pihak yang membantu proses pencucian uang dapat dipaksa membuktikan keabsahan hartanya dengan cara pembuktian terbalik. Dan bila tidak mampu membuktikannya, maka harta illegal itu bisa dirampas untuk negara,” kata Rahadiansyah
Dengan pembuktian terbalik, kewajiban untuk membuktikan bahwa harta yang dikumpulkan bukan dari hasil korupsi dibebankan kepada si tersangka. Mereka harus mampu memberikan bukti, saksi dan dokumen resmi untuk menjelaskan asal-asal dan cara memperoleh harta itu secara sah dan halal.
Dalam praktek pidana biasa, kewajiban pembuktian itu dilaksanakan oleh penyidik dengan mencari bukti, saksi, dokumen yang menegaskan bahwa harta itu diperoleh lewat korupsi, manipulasi, penipuan dan cara-cara haram lainnya. Selain itu, dengan melakukan penyidikan dan penuntutan kumulatif terhadap Tipikor dan TPPU, maka pelaku dan pihak-pihak yang membantu pencucian uang bisa diproses hukum semua.
“Hukuman bagi pelaku Tipikor dan TPPU bukan hanya bisa dihukum lebih berat, tetapi harta ilegalnya bisa dirampas untuk negara. Inilah terobosan UU TPPU,” pungkas Rahadiansyah. (br/br)
- 13 views



