Inilah, Siasat Menguras Duit dari Koruptor
Kasusku.com, JAKARTA—Melalui permainan kata-kata dalam peraturan dan memanfaatkan ketakutan tersangka, ternyata penegak hukum, pengacara, politisi sampai media massa berpeluang mengeruk keuntungan finansial dan politik dari kasus korupsi yang melibatkan para pejabat negara maupun pengusaha.
Setiap kali ada pejabat, mantan pjabat, pengusaha kaya atau tokoh masyarakat yang diajukan sebagai tersangka kasus korupsi melalui jalur Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) maupun jalur Polri-Kejaksaan Agung, banyak pihak lalu ikut sibuk. Mereka melakukan lobi ke segala penjuru agar dilibatkan dalam kasus korupsi bernilai besar dan banyak diliput media massa tersebut.
Duit, keahlian hukum, popularitas dan pamor politik pun jadi taruhan. Para pengacara berebut menjadi anggota kelompok pembela si tersangka, kalau perlu menawarkan untuk menanggung biaya perkara di muka. Mereka juga tidak segan saling merampas klien dalam kasus korupsi yang menarik perhatian masyarakat. Muncullah pemeo : ‘Pengacara maju tak gentar, membela yang bayar! ’Para pengacara mengincar klien-klien kelas kakap seperti para pejabat atau tokoh masyarakat yang dituduh korupsi bukan tanpa alasan.
Pertama, liputan media massa yang intensif terhadap kasus korupsi besar seperti mantan bendahara Partai Demokrat ketika itu M.Nazaruddin, maupun para birokrat yang terlibat adalah iklan gratis bagi para pokrol bambu (pengacara). Jika dinilai berhasil meringankan hukuman atau malahan bisa membebaskan kliennya, pengacara itu dijamin bakal laris manis disewa para tersangka kasus korupsi lainnya kelak.
Belum lagi soal imbalan yang besar bagi pengacara yang berhasil meringankan hukuman atau membebaskan tersangka kasus korupsi. Jika para tersangka itu memang kaya raya, mereka siap memberikan upah yang besar. Rekomendasi dari klien macam begini juga bermanfaat untuk meraih klien-klien lain yang mengharapkan jasa serupa dari para pengacara tersebut.
Regulasi yang mengatur penanganan kasus korupsi di kepolisian dan kejaksaan juga memberi peluang bagi penyidik kedua instansi itu untuk tidak melanjutkan penyelidikan, jika dinilai kurang bukti atau tidak bisa dilanjutkan ke pengadilan. Tujuan aturan ini sebenarnya bagus untuk membatasi jumlah kasus di pengadilan dan memungkinkan mereka yang tidak bersalah dibebaskan sebelum maju ke meja hijau. Namun peraturan tentang Surat Perintah Penghentian Penyelidikan (SP3) itu juga bisa dimainkan untuk tawar-menawar dengan tersangka koruptor yang kasus atau barang buktinya kurang kuat.
Sebaliknya, Undang-Undang tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) tidak memberi peluang bagi penyidiknya untuk menghentikan proses penyidikan kasus yang sudah berjalan. Artinya, setiap kasus yang sudah dibuka penyidikannya berarti harus sudah memiliki bukti, saksi dan penuntutan yang kuat. Bahkan seseorang yang dipanggil KPK sebagai saksi sekalipun, bisa saja langsung ditetapkan menjadi tersangka dan bisa langsung ditahan bila penyidik yakin pada kasus dan bukti-buktinya. Disinilah pengacara bisa ikut bermain.Mereka memanfaatkan ketakutan para birokrat, pengusaha swasta sampai akademisi kampus yang jarang berperkara pidana.Sehingga mereka (pengacara) langsung disewa untuk selalu mendampingi di dalam proses hukum di KPK. Padahal si terperiksa belum tentu bersalah juga, tapi tagihan biaya pengacara tentu sudah telanjur berputar.
Para oknum aparat kepolisian, kejaksaan dan juga (kabarnya) KPK pun bisa memanfaatkan ketakutan para tersangka untuk melakukan tawar menawar bentuk tuduhan, masa tahanan yang akan dituntut sampai pasal-pasal yang diajukan.Nilainya bisa sampai puluhan miliar rupiah, atau dihitung sebagai persentasi dari uang hasil korupsi yang berhasil ‘diamankan’ dari pelacakan aparat hukum.Bahkan media massa pun bisa ikut kecipratan duit haram dari kasus-kasus korupsi di kepolisian, kejaksaan, KPK maupun Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) di berbagai wilayah di Indonesia.
Sudah menjadi rahasia umum bahwa perusahaan swasta dan BUMN, yang dikaitkan dengan kasus korupsi, bakal berusaha meredam berita-berita miring tersebut. Caranya dengan memasang iklan, memborong Koran atau majalah berisi berita miring tersebut atau pun menawarkan kerjasama lainnya. Pokoknya, tutup mulut, deh! Selain berkiprah secara langsung di ranah hukum, para pemain juga bisa bergerak di luar gelanggang.
Pemerhati masalah sosial dan hukum Rahdiansyah, menengarai adanya kampanye terselubung untuk mengubah paradigm hukum tentang korupsi sebagai kejahatan luar biasa (extraordinary crime) menjadi kejahatan pidana yang biasa-biasa saja. Jika sampai terjadi perubahan itu secara tertulis dalam peraturan, menurut Rahdiansyah, hukuman bagi para koruptor bisa semakin ringan. Padahal dengan status sebagai pidana luar biasa, para koruptor yang dampak kejahatannya dinilai terlalu berlebihan, dapat dijatuhi vonis hukuman seumur hidup atau bahkan hukuman mati.
“Menurut saya adalah kelompok politisi, akademisi, hukum, pegiat hukum hingga hakim,” ujar Rahdiansyah kepada Budi Riyanto dari Kasusku.com.
Ia mencontohkan, adanya kelompok akademisi yang sering menggugat atau turut membantu melakukan gugatan perkara perdata tentang pasal-pasal UU KPK, UU Pemberantasan Korupsi, tata cara pemberian remisi atau bebas bersyarat ke PTUN atau ke MA. Tujuannya untuk melemahkan efektifitas dan efisiensi kerja para penegak hukum anti korupsi.
Rahdiansyah juga menengarai kelompok hakim dapat menjadi bagian kelompok yang melakukan pergeseran paradigma tentang korupsi.Menurutnya , putusan majelis hakim Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) yang membatalkan putusan pencabutan pembebasan bersyarat sejumlah narapidana perkara korupsi merupakan tindakan keliru, artinya harus ada koreksi terhadap profesionalisme hakim, karena hakim telah mengalami gagal paham. (bar/br)
- 9 views



